Penerapan Transportasi Multimoda di Palembang

Beberapa kota di Indonesia telah menerapkan sistem transportasi multimoda, baik itu untuk angkutan barang maupun penumpang. Salah satunya adalah di Kota Pelembang, Sumatera Selatan. Untuk melihat penerapan sistemnya, Media Artha Pratama (MAP) berkunjung ke kota empek-empek tersebut.

Dalam catatan sejarah, Palembang merupakan kota tua karena sudah ada sejak 683 M. Hal ini dibuktikan dengan prasasti Kedukan Bukit. Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya yang mengandalkan kekuatannya dari sektor maritim. 

Luas wilayah Kota Palembang mencapai 400,61 km². Secara administratif, kota ini terbagi dalam 16 Kecamatan dan 107 Kelurahan. Daerah-daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Palembang adalah Kabupaten Banyuasin (Utara); Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Banyuasin (Selatan); Kabupaten Banyuasin (Timur); Kabupaten Banyuasin, Muaraenim dan Ogan Ilir (Barat). Jumlah penduduknya lebih kurang 1.500.000 jiwa.

Angkutan Barang

Untuk angkutan barang, Media Artha Pratama (MAP) menemui Kepala Humas PT KAI Divre III Jaka Jakarsih.  Menurutnya, angkutan barang di Palembang sudah memenuhi sistem transportasi multimoda, khususnya terkait dengan konektivitas. Batubara adalah komoditas andalan yang diangkut oleh KA barang. “Selama ini angkutan barang masih mendominasi kontribusi pendapatan perseroan dibanding angkutan penumpang. Secara komposisi, kontribusi angkutan barang untuk Divre III sudah 70% dari total pendapatan dan 30%-nya adalah angkutan penumpang,” kata Jaka.

Untuk mengangkut batubara, PT KAI Divre III bekerja sama dengan PT Bara Alam Utama (BAU) dan PT  Prima Media Sarana Sejahtera (PMSS). Sebelumnya, PT KAI Divre III juga sudah menjalin kerjasama dengan PT Bukit Asam melalui angkutan KA Babaranjang  dan KA Batubara serta  KA Batubara PT SB untuk  PT Semen Baturaja.

Contoh konektivitas yang terjadi di angkutan barang ini, seperti ditunjukkan dengan pengangkutan batubara hasil produksi PT Bukit Asam di Tanjung Enim ke Pelabuhan Tarahan (Lampung) dan Stasiun Kertapati (Palembang) kemudian dilanjutkan menggunakan kapal tongkang. Untuk pengangkutan dari Tanjung Enim Baru-Tarahan, KA Batubara yang beroperasi lebih dikenal dengan nama KA Babaranjang (Batubara Rangkaian Panjang) atau disebut KA BBR. Ada 18 KA yang beroperasi setiap harinya dari Stasiun Tanjung Enim Baru ke Pelabuhan Tarahan, pergi pulang.

Sesuai namanya, KA Babaranjang merupakan KA terpanjang di Indonesia. Satu rangkaian KA Babaranjang terdiri dari 40 gerbong KKBW dengan 2 lokomotif CC202 atau 60 gerbong KKBW dengan 3 lokomotif CC202. Menggunakan dua lokomotif terbaru CC205 mampu menarik 50 gerbong KKBW. Panjangnya, bisa mencapai 1 kilometer lebih.

Angkutan Penumpang

Tidak hanya angkutan barang, angkutan penumpang di Palembang juga sudah saling terkoneksi. Uniknya, konektivitas yang terjadi di sini tidak hanya antara BRT (Bus Rapid Transit) yang diberi nama Trans Musi dengan kereta api, tetapi juga angkutan sungai dan bandara.

Menurut Kepala Dinas Perhubungan Kota Palembang, Masripin HM. Toyib, konektivitas yang terjadi di Palembang yakni: Keterpaduan Trans Musi dengan moda pesawat pada Koridor 5 (Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II – Alang-Alang Lebar); Keterpaduan Trans Musi Koridor 1 dengan moda angkutan sungai yang disebut Bus Sungai; Keterpaduan Trans Musi Koridor 4 dengan Kereta Api, Bus Sungai (Terminal Karya Jaya – Jaka Baring). “Dermaga yang sudah dibangun untuk mendukung keterpaduan ini telah dibangun di bawah Jembatan Ampera dan di dekat Stasiun Kertapati.”

Dengan  demikian, Masripin melanjutkan, para pendatang yang masuk ke Palembang melalui Bandara SMB II bisa naik Trans Musi yang sudah terintegrasi dengan moda kereta api dan bus sungai. “Bagi wisatawan bus sungai ini cukup menarik karena rutenya ada yang ke tempat wisata Pulo Kemaro.”

Penggunaan bus sungai, sungguh disadari oleh Pemkot Palembang untuk tetap mendorong dan mengampanyekan penggunaan perahu tradisional yang saat ini jumlahnya tidak kurang dari 1000 buah. Apalagi, Palembang dengan banyaknya aliran sungai, sempat disebut sebagai “Venesia”-nya Indonesia.  “Bus sungai ini, menjadi moda alternatif untuk mengurangi dan mengalihkan sebagian pengguna jalan raya ke sungai untuk mengurangi kepadatan lalu lintas. Selain itu, dapat memberi efisiensi biaya pembangunan dan perawatan jalan raya.”

Berikut rute bus sungai: Benteng Kuto Besak (BKB) – Kampung Kapitan – Ki Gede Ing Suro (30 ilir) – 35 Ilir – Tangga Buntung – Masjid Ki Merogan – Jaka Baring; Benteng Kuto Besak (BKB) – Dewi Pengasih – PT. Garam – Mesjid Lawang Kidul – Kawah Tengkurep – Bagus Kuning – Pulau Kemaro – Patra Ogan – Sei Lais;  Benteng Kuto Besak (BKB) – Kampung Kapiten – Ki Gede Ing Suro (30 ilir) – 35 Ilir – Tangga Buntung – Zikon – Musi II – Gandus – Solok Betutu – Pulo Kerto.

Transportasi Darat

Salah satu terobosan yang dilakukan Palembang dalam transportasi darat adalah mempraktikkan BRT, sekaligus secara perlahan memindahkan operasional angkot dan bus kota ke pinggiran kota sebagai angkutan pengumpan (feeder) bagi BRT.

Dinas Perhubungan Kota Palembang menargetkan pada tahun 2016 nanti, bus kota dan angkot sudah tidak beroperasional lagi di jalan protokol. Sehingga, BRT dapat lebih optimal melayani masyarakat. “Kita targetkan nanti sudah bisa dilakukan pada 2016,” kata Masripin.

Untuk mencapai target tersebut, saat ini Dishub Palembang sudah tidak lagi memperpanjang trayek bus kota dan angkot. Bus yang sudah berusia 10 tahun, izin trayeknya tidak akan diperpanjang. Setiap tahunnya, rata-rata Dishub mengeluarkan izin trayek untuk 80-90 unit. “Sampai saat ini jumlah bus kota di Palembang mencapai 350 bus. Kita upayakan, setiap tahun 80 unit bus bisa dikurangi, otomatis tahun 2016 rencana yang diinginkan terwujud,” ujar Masripin.

Supaya kebijakan ini dapat diterima dengan baik, maka pihaknya sudah mengajak puluhan pengusaha bus kota untuk menjadi feeder bagi Trans Musi atau bergabung untuk mengelola Trans Musi. Ada 10 rutefeeder yang segera dibuka, yakni rute Talang Betutu-Alang-alang Lebar, Talang Kelapa-Alang-Alang Lebar, Talang Jambe- Alang-Alang Lebar, Perumdam-Talang Buruk, Sukabangun II-KM 5. Jalan Sosial-KM 5, Tegal Binangun-Plaju Laut, Kertapati-Panca Usaha, Makrayu-Bukit Besar, dan Way Hitam-KM 5. Sedangkan untuk bergabung, konsepnya bisa dengan menginvestasikan bus untuk dikelola oleh PT Sarana Pembangunan Palembang Jaya, BUMD yang mengelola Trans Musi.

Jumlah BRT pada tahap pertama sebanyak 25 unit dengan 2 Koridor, 74 halte, berbahan bakar dual fuel (gas dan solar). Pada tahap kedua jumlah bus bertambah menjadi 85 buah yang melayani 17.000 penumpang per hari. Diharapkan pada tahun 2013 nanti, Trans Musi mempunyai 250 unit armada dengan 8 Koridor ditambah 2 Koridor anglomerasi (angkutan pengumpan dari luar kota). “Anglomerasi dari 2 kabupaten terdekat, Ogan Ilir dan Banyuasin,”  ujar Masripin.

Bertambahnya armada Trans Musi yang juga mulai terkoneksi dengan moda lainnya, harus ditopang dengan sistem tiket yang modern dan sistem GPS (Global Positioning System). Oleh karena itu, sistem pembayaran Trans Musi menggunakan smart card mulai tanggal 1 April 2012. Sampai saat ini sudah 85% peralatan smart card terpasang di Bus Trans Musi. “Biaya naik Trans Musi Rp. 4000. Semua laporan kegiatan Trans Musi sudah sistem online, semua data pemasukan dan pengeluaran sistem online dan dapat dimonitor setiap saat.”

Selain dipasang peralatan smart card, di dalam bus Trans Musi juga dilengkapi sistem GPS Tracking. Gunanya, untuk memantau lokasi armada Trans Musi, kecepatan armada, serta dapat mengatur jarak headway. Sehingga kontrol operasional dapat lebih terpantau dan sistem kerja dapat lebih efektif. “Saat ini headway-nya 5-10 menit,” ujar Masripin.

Terkait dengan sumber daya manusia, para awak Trans Musi baik sopir maupun pramugaranya wajib mengikuti pelatihan. Menurut Manajer Transmusi PT SP2J, Aries Rachmansyah, hal ini dilakukan sebagai upaya peningkatan kinerja dan pelayanan terhadap penumpang. “Pelatihan disiplin ini dimaksudkan agar para sopir dapat mengubah pola secara konvensional menuju ke arah transportasi modern, yakni dengan mengutamakan keselamatan dan pelayanan penumpang,” ujarnya.

Lebih lanjut, untuk mendukung transportasi darat, Dishub Palembang juga menerapkan program ATCS/ ITS. Data simpang yang bersinyal berjumlah 48 simpang yang terdiri dari 33 simpang traffic light dan 15 simpang warning light. Sebagian besar sudah memakai lampu led dan sudah diberi tambahan traffic countdown di 18 simpang.

Apakah pembangunan transportasi di Palembang ini berwawasan lingkungan? Ketika ditanya seperti itu, Masripin mengungkapkan bahwa di daerahnya telah dijalankan gasifikasi transportasi umum dan kendaraan dinas. Pada tahun 2010, ada bantuan converter kit sebanyak 666 unit untuk angkutan umum (angkot) dari Kementerian Perhubungan, namun hingga saat ini yang aktif 108 unit, hal ini disebabkan masalah suku cadang dan SPBG yang ada hanya 1 unit.

Namun pada tahun 2012, pemasangan converter kit sebanyak 200 unit untuk  angkot dan taksi serta kendaraan dinas. Seiring dengan itu, telah dibangun 4 unit SPBG yang tersebar di Kota Palembang. Inilah langkah nyata untuk mewujudkan Kota Palembang sebagai “Urban Transport Go Green and Pro Poor.”

Pembangunan transportasi ini juga berpihak pada pejalan kaki dan transportasi tidak bermotor. Hal itu ditunjukkan dengan pemasangan petunjuk informasi bagi pejalan kaki. Selain itu, sejak tahun 2009 dijalankan program car free day setiap hari minggu. Pedestrian dan jalur sepeda pun dibangun sesuai dengan standar yang sesuai.  

Segala upaya di atas pada kenyataannya mulai dirasakan masyarakat Palembang sendiri. Di tingkat nasional, kota seribu sungai ini menerima penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN) 2011, karena dinilai berhasil mengembangkan sistem transportasi dan lalu lintas sekaligus melalui kehadiran Bus Rapit Transit (BRT) Trans Musi. (ONE)

Berita Terkait

Komentar: