Harus Ada Lembaga Khusus Tangani Transportasi Multimoda

Kementerian Perhubungan telah menetapkan KM 15 Tahun 2010 tentang Cetak Biru Transportasi Antarmoda dan Multimoda. Cetak biru ini berisi arah pengembangan transportasi yang dituangkan dalam bentuk program optimasi, pengembangan dan pembangunan, serta aksesibilitas.
Kepada Media Artha Pratama (MAP), Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Manajemen Transportasi Multimoda Nurjanah, mengatakan bahwa program tersebut diarahkan pada 25 pelabuhan utama, 7 terminal khusus CPO dan batu bara, 14 bandara kargo, 9 kota metropolitan, dan 183 daerah tertinggal. “Sedangkan cita-cita Pemerintah di masa yang akan datang khususnya di bidang transportasi antarmoda/ multimoda adalah terwujudnya penyelenggaraan pelayanan one stop service pada angkutan penumpang dan barang.”
Pelayanan one stop service ini, kata Nurjanah, memiliki roh efisiensi dan efektifitas, kerena akan lebih memperlancar perpindahan barang maupun penumpang di seluruh Indonesia. Tujuannya untuk menurunkan biaya angkutan. “Efeknya jelas, yakni dengan menurunnya biaya angkutan maka menekan harga barang, sehingga daya beli masyarakat tinggi. Artinya taraf kesejahteraan masyarakat naik.”
Mengingat sistem transportasi multimoda ini masih ke angkutan barang, maka cetak birunya tidak terlepas dari sistem logistik nasional. Cetak biru Sislognas merupakan arah dan pola pengembangan sistem logistik nasional pada tingkat makro yang dijadikan acuan kebijakan Pemerintah di sektor logistik, dalam rangka meningkatkan kelancaran distribusi barang dan peningkatan dunia usaha nasional di pasar global, serta untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat.
“Arah kebijakan pengembangan sistem logistik nasional bertumpu pada 6 faktor penggerak utama yang saling berkaitan: komoditas penggerak utama, pelaku dan penyedia jasa logistik, infrastruktur transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, manajemen sumber daya manusia, serta regulasi dan kebijakan,” terang Nurjanah.
Salah satu faktor penggerak yang sejauh ini mendapat perhatian serius Pemerintah adalah peran dan fungsi infrastruktur transportasi. Ini menjadi kunci dalam kelancaran pergerakan arus barang dan penumpang yang efektif dan efisien. Infrastruktur bersama 5 faktor lainnya, berjuang bersama-sama mewujudkan visi dan misi logistik Indonesia tahun 2025, yakni keterpaduan jaringan pelayanan transportasi, jaringan prasarana transportasi, dan pelayanan transportasi dari berbagai moda yang ada sehingga dapat mewujudkan sistem logistik nasional. Visi misi-nya sendiri yaitu locally integrated, globally connected for national competitiveness and social welfare.
Lebih lanjut, diakui oleh Nurjanah, saat ini kinerja sektor logistik nasional masih belum optimal, walau ada peningkatan. Berdasarlan hasil survei Indeks Kinerja Logistik/ Logistic Performance Index (LPI) oleh Bank Dunia yang dipublikasikan pada tahun 2012, posisi Indonesia naik dari peringkat 75 pada tahun 2010 menjadi peringkat ke 59 dari 155 negara yang disurvei.
Tentu posisi ini akan terus ditingkatkan karena angkutan antarmoda/ multimoda semakin penting mengingat adanya integrasi sistem logistik ASEAN menuju perwujudan pasar tunggal ASEAN dan adanya penandatanganan ASEAN Framework Agreement on Multimodal Transport yang menyiratkan adanya liberalisasi di bidang jasa angkutan antarmoda/multimoda di kawasan ASEAN. “Selain itu secara nasional masih adanya disparitas harga serta kurangnya konektivitas antar wilayah maka Pemerintah perlu membangun sistem transportasi antarmoda/ multimoda yang efektif dan efisien,” ucap Nurjanah.
Selain terhubung langsung dengan Sislognas, Cetak Biru Transportasi Antarmoda dan Multimoda juga tidak terpisah dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Hubungan itu ditunjukkan dengan bersinergi untuk mengatasi kemiskinan, dengan meningkatkan konektivitas satu wilayah dengan wilayah lain. Oleh karena itu, banyak instansi Pemerintah yang dilibatkan.
Transportasi yang Berkelanjutan
Secara operasional, menurut Nurjanah, multimoda yang merupakan angkutan barang telah dilaksanakan di seluruh Indonesia. Apalagi saat ini telah dilakukan pembangunan dan pengembangan, peningkatan aksesibilitas serta optimalisasi pada jaringan prasarana, jaringan pelayanan, dan pelayanan transportasi seperti peningkatan peran dry port (antara lain Cikarang Dry Port dan Gede Bage di Bandung). Kemudian, peningkatan keterpaduan jaringan prasarana antara pelabuhan dengan kereta api seperti di Pelabuhan Tanjung Priok yang mulai ditingkatkan jalur rel menuju ke pelabuhan, serta antara bandara dengan kereta api seperti di Bandara Kualanamu yang semuanya mendukung penerapan transportasi multimoda.
Sedangkan keterpaduan moda (antarmoda) untuk angkutan penumpang juga telah berjalan di beberapa daerah. Hal itu tampak pada single seamless services seperti saat ini telah dilakukan pengembangan sistem tiket terpadu antarmoda dengan menggunakan kereta api, angkutan penyeberangan, dan angkutan jalan (bus) yang biasa disebut dengan TITAM (tiket terpadu antarmoda) dengan rute regular (Bandung-Gambir-Tangjung Karang-Kertapati-Palembang) dan rute non regular (Bandung-Gambir-Tanjung Priok-Sekupang-Batam). Kemudian ada keterpaduan moda antara kereta api (Prambanan Ekspress jurusan Jogja-Solo dengan Trans Jogja dan Batik Solo Trans). Sedangkan untuk keterpaduan jaringan pelayanan dari Bandara Adi Sutjipto dengan bus Trans Jogja dan Kereta Prambanan Ekspres yang melayani lintas Kutoarjo-Solo. Dan masih banyak lagi contoh yang lain.
Dalam pelaksanaan angkutan antaramoda/ multimoda, ada permasalahan yang perlu disikapi oleh pihak-pihak terkait. Pertama, kualitas Badan Usaha Angkutan Multimoda (BUAM) nasional masih belum sebaik di negara lain. Landasan untuk peningkatan kualitas BUAM ada pada PP No. 8/2011 Pasal 7. Persoalan ini terkait langsung dengan sumber daya manusia yang ada di dalamnya.
Oleh karena itu, di dalam peraturan ditegaskan bahwa saat mengajukan izin BUAM harus memiliki SDM yang berkompetensi. Sayangnya belum ada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bidang Multimoda. Namun, walau belum ada LSP maka takaran kompetensinya adalah sudah berpengalaman bekerja minimal 3 tahun di perusahaan angkutan logistik.
“Harapan saya, ke depan itu para operator bisa profesional, sehingga mampu bersaing di kancah global. Membuat perpindaan arus barang dan penumpang dapat lancar. Indeks Kinerja Logistik/ Logistic Performance Index (LPI) akan meningkat, sehingga dapat menurunkan biaya logistik, dan tentunya berimbas pada peningkatan pendapatan masyarakat secara nasional,” harap Nurjanah.
Berikutnya, ia melanjutkan, diakui masih dijumpai kurang lancarnya arus barang yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi khususnya pada simpul transportasi seperti di pelabuhan dan bandara tertentu. Serta masih kurangnya keterpaduan jaringan pelayanan, jaringan prasarana, dan pelayanan transportasi dalam mendukung kelancaran mobilitas penumpang di perkotaan serta di sebagian wilayah Indonesia, khususnya pada daerah tertinggal.
Persoalan di atas telah diantisipasi dengan melakukan peningkatan pembangunan keterpaduan infrastruktur transportasi (darat, kereta api, ASDP, laut dan udara) baik pada jaringan prasarana maupun jaringan pelayanan transportasi. “Tentunya didukung pula oleh peningkatan kualitas pelayanan melalui penerapan teknologi, informasi, dan komunikasi di bidang transportasi multimoda (seperti adanya cargo information system, electronic data interchange, tracking and tracing, serta national single windows),” ujar Nurjanah.
Simpul Transportasi
Salah satu bagian penting dari penyelenggaraan transportasi multimoda adalah simpul transportasi. Menurut Nurjanah, simpul transpotasi mengarah pada suatu tempat yang berfungsi untuk kegiatan menaikkan dan menurunkan penumpang, membongkar dan memuat barang, mengatur perjalanan serta tempat pemindahan intramoda dan antarmoda. Wujud dari simpul berupa terminal transportasi jalan, stasiun kereta api, terminal perairan pedalaman, pelabuhan penyeberangan, pelabuhan laut, dan bandara. “Saya sangat menekankan pentingnya memperhatikan unsur keselamatan dan keamanan pada tiap simpul-simpul transportasi ini,” kata Nurjanah.
Simpul transportasi harus diperhatikan karena, lanjutnya, setiap saat orang berpindah dari satu moda ke moda lain, sehingga rawan terjadi tindak kejahatan. Kalau bicara antarmoda dan multimoda, harus ada aturan tegas, jika ada kasus kejahatan yang merugikan masyarakat di simpul transportasi siapa yang bertanggungjawab. “Pusat Penelitian dan Pengembangan Manajemen Transportasi Multimoda memiliki kajiannya, seperti bagaimana mengatur keamanan di simpul-simpul transportasi. Misalnya ada orang sudah turun dari kereta api menuju ke kapal laut. dalam perjalanan orang tersebut terjadi kecopetan. Nah, pada posisi itu ia harus melapor ke operator kereta api atau ke kapal, penumpang dan operator bingung. Inilah pentingnya nanti penerapan transportasi antarmoda/multimoda karena sudah jadi satu sistem” jelas Nurjanah.
Sayangnya, ia melanjutkan, sampai saat ini belum ada kelembagaan khusus yang mengatur transportasi antarmoda/multimoda. Inilah yang menjadi tantangan berikutnya ke depan. Yang jelas, sekarang Indonesia sudah mempunyai cetak biru, sudah ada perangkat peraturan dari Undang-undang sampai ke Peraturan Menteri Perhubungan. “Pusat Penelitian dan Pengembangan Manajemen Transportasi Multimoda sudah mengusulkan, entah membentuk suatu instansi untuk menangani multimoda ini,” ucap Nurjanah.
Ke depan lembaga tersebut akan terwujud supaya dapat mempercepat cita-cita Pemerintah untuk menyatukan negeri. Karena pihaknya selama ini, kata Nurjanah, tugasnya hanya sebatas unsur penunjang, sebatas policy research. “Saya yakin cita-cita dalam Cetak Biru Transportasi Antarmoda dan Multimoda yang terkait dengan Sislognas dan MP3EI dapat terwujud.” (ONE)