Saatnya Selamatkan Hak Pejalan Kaki

Seorang ibu dengan tampilan biasa berani menantang para pesepeda motor untuk turun dari trotoar dan kembali ke jalan raya. Dengan baju berlengan panjang merah dibalut jilbab salem, tak segan-segan ia berdebat dengan setiap pesepeda motor yang terang-terangan merebut hak para pejalan kaki. Alhasih, ia pun berhasil mengusir mereka.
Aksi sang ibu di kawasan Semanggi Jakarta Pusat itu menginspirasi Deddy Herlambang untuk mendirikan Koalisi Pejalan kaki (KPK). Deddy bersama pengikutinya melakukan aksi serupa untuk menyentil pesepeda motor yang sering merebut hak pejalan kaki. Menurutnya, memang tidak gampang mengembalikan hak pejalan kaki, tapi harus dimulai.
Apa yang dialami si ibu yang direkam dan diunggah ke jejaring berbagi video Youtube tahun 2009 silam serta Deddy melalui KPK-nya, lahir dari sebuah keprihatinan yang sama. Tidak sedikit nyawa pejalan kaki melayang lantaran ditabrak oleh kendaraan bermotor. Atau juga tidak bisa menikmati nyaman dan aman berjalan kaki karena trotoar yang ada tidak memadai atau sudah dialihfungsikan menjadi tempat berdagang dan parkir.
Kepada Media Artha Pratama (MAP), pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, mengatakan bahwa fungsi utama trotoar adalah untuk memberikan pelayanan kepada pejalan kaki sehingga dapat meningkatkan kelancaran, keamanan dan kenyamanan pejalan kaki tersebut. Trotoar juga berfungsi memperlancar lalu lintas jalan raya karena tidak terganggu atau terpengaruh oleh lalu lintas pejalan kaki.
Diatur dalam Undang-undang
Hak-hak pejalan kaki, katanya, sudah tertuang jelas dalam pasal 25 UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 106 ayat (4) ditegaskan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan: a. rambu perintah atau rambu larangan; b. marka jalan; c. alat pemberi isyarat lalu lintas; d. gerakan lalu lintas; e. berhenti dan parkir.
Pengertian marka jalan adalah suatu tanda yang berada di permukaan jalan atau di atas permukaan jalan yang meliputi peralatan atau tanda yang membentuk garis membujur, garis melintang, garis serong, serta lambang yang berfungsi untuk mengarahkan arus lalu lintas dan membatasi daerah kepentingan lalu lintas.
Bercermin dari ketentuan tersebut, hak pejalan kaki tidak hanya dirampas saat kendaraan bermotor naik ke trotoar tapi ketika mereka melewati garis berhenti saat lampu merah menyala. Umumnya, di depan garis marka itu ada zebra cross untuk pejalan kaki menyeberang. Karena para pengendara melanggar marka, bahkan “menduduki” wilayah zebra cross maka para pejalan kaki susah untuk menyeberang dan rawan sekali untuk tertabrak.
Para pengendaran kendaraan bermotor yang tidak mengindahkan aturan ini, sambung Djoko, diacam oleh sanksi lumayan serius. Coba simak di UU No 22 tahun 2009 pasal 287 ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (4) huruf (a) atau marka jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf (b) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Jika aturannya sudah jelas, begitu juga dengan sanksinya, pertanyaannya adalah bagaimana penegakkan aturan tersebut. Kita sama-sama berharap bahwa persolan ini tidak berlarut-larut. Semakin lama maka semakin terancam hak-hak pejalan kaki ini, sehingga potensi untuk terjadi hal yang tidak diinginkan semakin besar.
Apalagi, pakar tata kota Nirwono Yoga mengatakan bahwa hingga kini pedestrian layak hanya 20%. Kawasan tersebut hanya berada di pusat kota ataupun bisnis antara lain di SCBD Sudirman, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Thamrin, sekeliling Monas, Kebon Sirih, dan sekitar Menteng. "80 persen (jalur) pedestrian di Jakarta memprihatinkan," tegasnya.
Ke depan, baik ibu yang ada di Youtube, Deddy, Djoko, Yoga dan masyarakat luas berharap supaya semua pihak yang berkepentingan dapat memperhatikan hal ini. Apalagi jika kebijakan normalisasi pedestrian dapat diikuti dengan pelaksanaan program transportasi massal perkotaan. Sehingga, mobilitas masyarakat yang menggunakan kendaraan pribadi berkurang, karena beralih ke transportasi massal dan juga berjalan kaki atau naik sepeda di jalur yang aman dan nyaman. (ONE)