Menikmati Hutan Hujan Tropis di Curug 7 Cilember

Nama Wana Wisata Cilember di Puncak sudah lama dikenal sebagai tempat wisata yang paling dicari oleh penduduk Jakarta. Hari-hari yang begitu padat dalam menjalani aktivitas di Jakarta, menjadikan Puncak sebagai kawasan yang paling dituju untuk melepas penat warga Ibu Kota. Udara yang masih bersih dengan pemandangan alam hijau menawarkan energi baru.

Media Artha Pratama (MAP) yang penasaran dengan daerah ini, memutuskan mendatangi tempat wisata yang masuk di kawasan perbukitan Hambalang, Desa Jogjogan, Kecamatan Cisarua. Lokasinya sendiri tidak begitu jauh dari Gadog. Dari Jakarta, yang kira-kira berjarak 100 Km dapat ditempuh dengan mobil melewati jalan tol, lalu keluar ke arah Ciawi. Kemudian, Anda terus menuju Jalan Raya Puncak. Sekitar 12,5 km dari gerbang tol, belok kiri tepat di depan Rumah Makan Pondok Indah I di daerah Cisarua atau setelah Kantor Camat Cisarua. Setelah melalui jalan yang cukup sempit sejauh 5 Km dengan petunjuk jalan yang jelas, Anda akan mendapati gerbang Curug Cilember.

Kami sendiri memilih menggunakan sepeda motor, dari Jakarta menuju Bogor melewati Parung. Di Bogor kami menginap satu malam, sebelum keesokan harinya perjalanan ke Wana Wisata Cilember dilanjutkan dengan mobil ke arah Ciawi. Kalau dari Bogor, jaraknya 25 Km untuk sampai ke kawasan wisata yang memiliki luas 3,9 hektare.

Perjalanan Pagi

Malam sebelum berangkat, kami memutuskan untuk berangkat menjelang matahari terbit. Udara pagi yang dipadu dengan alam pegunungan, menjadi garansi bagi kami untuk bisa memeluk kesegaran semesta.

Benar saja, setelah meninggalkan Jalan Raya Puncak yang semakin hari semakin jenuh, kami disambut dengan suasana yang begitu berbeda. Beraneka jenis pepohonan menjulang tinggi di hutan wisata yang dikelola Perum Perhutani bersama masyarakat sekitar, menudungi tiap langkah kami.

Untuk memudahkan pengunjung, pengelola telah menyediakan jalan setapak yang disusun dari gugusan batu sungai. Tanaman bunga membentuk perdu tampak terawat di sepanjang jalan menuju Curug 7, yang merupakan curug terdekat dari pintu masuk. Masyarakat sekitar menyebut air terjun dengan sebutan curug.

Dalam perjalanan, kami sempat khawatir kalau air di curug akan kering. Mengingat sampai September 2012 air hujan masih enggan membasahi bumi. Hal ini tentunya akan berpengaruh pada debit air curug yang berkurang. Nyatanya, kekawatiran kami tidak sepenuhnya terbukti. Walau debit berkurang dibanding waktu musim hujan, tapi gemericik suara air curug memberikan suasana tersendiri di tengah lebatnya hutan.

Untuk mencapai Curug 7 dari pintu masuk tidak terlalu jauh, tetapi cukup melelahkan karena jalannya yang mendaki. Lenguhan napas yang memburu, dengan langkah yang semakin gontai seiring terjalnya medan, membuat kami ingin segera menceburkan kaki ke air curug.

Tapi apa daya….

“Woowww...”

Ujung saraf crausse pada kulit, yang peka pada suhu dingin, memberi sinyal untuk membiasakan dengan suhu air. Sebenarnya hal ini tidak mengherankan, karena kawasan wisata alam ini berada di ketinggian 700m dpa dengan suhu 15° - 25°C. Walau jam sudah menunjukkan jam 08.00 tetapi kabut masih bergelanyut di pucuk-pucuk rerindang pohon.

Namun demikian, tetap saja ada pengunjung yang menceburkan diri ke dalam air curug yang baru jatuh dari ketinggian 40 meter. Gelak tawa mereka membahana memantul di dinding curug dan menghilang di kedalaman hutan. Bisa jadi, tawa itu menjadi strategi mengalihkan perasaan dingin karena nyatanya setelah selesai, badan tampak menggigil.

Kami sendiri sibuk dengan aktifitas fotografi. Lensa membidik ke obyek yang dikira menarik dengan memperhatikan datangnya sinar yang menyeruak dari lepitan dedaunan. Bahkan tidak jarang mengantri dengan pengunjung lain karena berebut posisi foto yang sama. Sebuah toleransi yang tercipta walau tidak ada kata satu pun yang terlontar.

Setelah cukup puas menikmati Curug 7, masih ada 6 curug lainnya yang berada pada ketinggian berbeda, dengan karakteristik yang berbeda pula. Semakin kecil angkanya, ternyata semakin tinggi letak curugnya. Namun curug yang paling banyak dikunjungi adalah curug yang ketujuh, di mana curug ini konon diyakini berkhasiat sebagai obat awet muda, mempercepat dapat jodoh dan dapat menyembuhkan penyakit.

Tidak jauh dari Curug 7, ada Curug 5 yang memiliki pemandangan yang tidak kalah indahnya. Kira-kira jarak kedua curug ini sekitar 450 meter dan dapat ditempuh sekitar 25 menit. Curugnya tampak lebih besar jika dibandingkan dengan Curug 7. Sebagian besar pengunjung sudah merasa senang jika mencapai Curug 5 ini.

Untuk mencapai curug ini, medannya cukup sulit. Jalan yang dilalui semakin sempit dan terjal. Namun, pemandangannya semakin tampak indah karena tampak dari ketinggian. Bagi pencinta lingkungan dan para backpacker, hal ini tidak menjadi halangan yang berarti.

Bagi kebanyakan orang, Curug 5 sangat indah karena memiliki jeram yang bertingkat, dengan curahan air yang cukup deras menghantam batu. Setelah Curug 5 ada Curug 6, namun sayangnya curug ini belum bisa dikunjungi, jalan setapak menuju ke sana tidak ada. Sehingga sangat sulit untuk menjangkaunya.

Curug lainnya, yakni Curug 4 dan Curug 3 yang letaknya tidak berjauhan satu sama lain. Untuk mencapai ke dua curug ini dibutuhkan perjuangan yang cukup berat karena kondisi jalan yang lebih  licin, terjal, berbatu dan juga banyak lintah yang ada di dedaunan sepanjang jalur ke sana. Sedangkan untuk mencapai curug kedua dibutuhkan waktu lebih lama karena perjalanannya cukup jauh dari curug ketiga. Dan bagi yang ingin mencapai curug pertama, yang terletak paling tinggi, dibutuhkan waktu sekitar 2 hingga 3 jam berjalan kaki dari curug ke tujuh. Kalau tertarik ke sana, disarankan untuk menggunakan pemandu yang sudah tahu medan perjalanan.

Legenda

Apakah masih kurang menantang atau kurang menyatu dengan alam? Pihak mengelola menyediakan fasilitas untuk bisa bermalam di Kawasan Curug 7 Cilember, yang dinamakan camping ground. Ada tiga areal camping ground, yaitu: Lembah Pakis, Curug Tujuh dan Curug Lima. Tersedia peralatan camping berupa tenda, matras spone, sleeping bed, extra bed dan lampu badai untuk disewakan, atau dapat juga membawa sendiri dari rumah. Dengan kawasan yang luas, kegiatan camping sangat memungkinkan apalagi tempat ini mampu menampung 2.400 pengunjung.

Bagi yang ingin bermalam tetapi tidak terbiasa tidur di tenda, pihak pengelola menyediakan akomodasi berupa Jungle Lodge dengan pemandangan menghadap ke air terjun, sungai dan hutan. Suara gemericik air terjun dan sungai serta suara daun pinus yang diterpa angin senantiasa menemani keheningan tidur, memberikan sensasi tersendiri dan menjadikan suatu pengalaman baru di tengah rutinitas dan kesibukan sehari-hari.  

Di samping kegiatan wisata harian dan wisata bermalam (tenda jungle dan lodge), kita dapat melakukan kegiatan-kegiatan di alam terbuka (outdoor activity program) lainnya, seperti: pendidikan/ pengenalan lingkungan dan konservasi alam (eco-edu), outbound dan gathering (low impact, high impact, extreme impact), jungle tracking, shooting film,danfotografi, dan sebagainya.

Satu lagi yang ditawarkan kepada para pengunjung, yakni Taman Kupu-kupu. Di dalam taman yang berbentuk kubah seluas 500 m2 ini, kita dapat mempelajari atau hanya sekadar mengenal dan menyaksikan kecantikan 12 spesies satwa kupu-kupu asli setempat yang ditangkarkan di sini, yaitu: Papilio memnon, Papilio heulena, Papilio polytes, Papilio demoleus, Troides helena, Troides ampisus, Atrophaneura aristolocia, Graphium agamemnon, Graphium sarpedon, Euploea mulciber, Elymnias hypermnesta dan Attacus atlas.

Menurut catatan http://roy87.blogspot.comCurug Cilember memiliki cerita legenda. Dahulu kala, konon area ini sebagai tempat bersemayamnya putri kerajaan Pasundan yang cantik jelita dan tentunya baik hati. Ia memiliki raut wajah yang awet muda lantaran sering berbasuh di ketujuh air curug tersebut.  Hingga akhir hayatnya, ia tetap berada di sekitar area Curug Cilember untuk menjaga area curug terebut.  Hingga kini penduduk sekitar tidak mengetahui pasti keberadaannya.

Juga tepat di atas lokasi Curug 7 tedapat sebuah makam keramat yang setiap harinya sering dikunjungi oleh masyarakat, untuk berziarah, dan mencari berkah. Menurut sejarah makam ini bernama makam Embah Jaya Sakti yang masih memiliki garis keturunan Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran dan masih memiliki hubungan darah dengan Tubagus Arifin yang berada di Kiaralawang Bogor (Kebun Raya Bogor). (ONE)

Foto by Yudistira Hansel

Berita Terkait

Komentar: