Tapak Tilas Perkembangan Perekonomian di Museum BI

Sudah sejak lama, jauh sebelum kedatangan Bangsa Eropa, Indonesia telah menjadi wilayah perdagangan internasional. Posisinya yang sangat strategis ditambah dengan kekayaan alam yang melimpah, sangat memungkinkan bagi banyak pedagang dari kawasan Asia Timur, Asing Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah atau bahkan dari Afrika datang ke Indonesia untuk berdagang.

Ketika memasuki abad ke-15, didorong oleh banyak kepentingan bangsa-bangsa Eropa mencari tanah jajahan di luar Eropa, salah satunya di Nusantara. Kegiatan ekspansi ini semakin menggila, ketika di Eropa pada akhir abad ke-18, pecah revolusi industri. Daerah jajahan dijadikan tambang bahan baku industri sekaligus pasar yang empuk. Aktifitas perdaganganpun berjalan dengan cepat dan meluas di berbagai belahan dunia.

Pesatnya perdagangan ini memicu tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England (1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.

Nusantara yang kaya akan beragam komoditas dalam jumlah besar, menarik Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC = Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602, mengukuhkan kekuasaanya di Batavia pada tahun 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara.

Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.

Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI.

Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia.

Museum BI

Penggalan kisah di atas merupakan bagian kecil dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan otonomi dalam perekonomian. Sebuah rangkaian sejarah yang tidak bisa dibilang pendek. Dan tidak dipungkiri, menyimpan semangat patriotik anak bangsa untuk dapat membawa letupan asa bagi generasi sekarang.

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, saat meresmikan Museum BI (21 Juli 2009) mengharapakan museum ini bermanfaat bagi masyarakat luas sebagai sarana edukasi yang menarik dan informatif tentang fungsi dan peran Bank Indonesia serta latar belakang kebijakan dari waktu ke waktu. Selain sejarah gedung dan perlengkapan yang digunakan sejak zaman De Javasche Bank, museum juga menyajikan berbagai informasi dan artefak terkait Bank Indonesia yang diperlengkapi teknologi informasi modern dan berbagai macam diorama, sehingga mampu menyihir para pengunjung untuk masuk ke setiap babak perjuangan bangsa Indonesia yang terbentang ratusan tahun.

Di samping itu, museum dilengkapi pula dengan tampilan permainan multimedia (antara lain playmotion), ruang teater yang nyaman, ruang sejarah yang lengkap dengan artefak, diorama, panel informasi dan layar sentuh, ruang seminar yang nyaman serta ruang khasanah uang kuno yang lengkap dengan tata pamer modern. Dengan kelengkapan ini museum bukan saja diharapkan dapat mengenalkan lebih jauh mengenai Bank Indonesia tapi juga dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pelestarian warisan sejarah bangsa.

Gedung museum sendiri merupakan gedung DJB kemudian dipakai sebagai BI, dan akhirnya kini dimanfaatkan dan dilestarikan sebagai museum. Pemerintah telah menetapkan bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Di samping itu, BI juga memiliki benda-benda dan dokumen-dokumen bersejarah yang perlu dirawat dan diolah untuk dapat memberikan informasi yang sangat berguna bagi masyarakat.

Salah satu bagian yang menarik Media Artha Pratama (MAP) adalah ruangan numismatik. Numismatik adalah studi pendalaman mengenai mata uang berikut dengan sejarahnya. Di sinilah terdapat koleksi terlengkap perkembangan mata uang Indonesia, baik koin maupun uang kertas, mulai dari zaman kerajaan di Nusantara, uang kolonial, uang awal kemerdekaan RI, uang Pemerintah dan Bank Indonesia, uang token, uang edisi khusus RI, dan berbagai macam koleksi mata uang dari berbagai negara di dunia yang ditampilkan dalam laci-laci berbentuk vertikal. 

Bagaimana datang ke sini? Museum Bank Indonesia beralamat di Jalan Pintu Besar Utara No. 3 Jakarta Barat, Indonesia. Telp. (6221) 2600158 / (6221) 93803322. Fax.62-21-2601730. Email: museum@bi.go.id. Museum ini dibuka untuk umum dan tidak dipungut biaya. Buka setiap hari Selasa – Jumat jam 08.00 – 15.30 dan Sabtu – Minggu jam 08.00 – 16.00, tapi setiap hari Senin dan Hari Libur Nasional tutup.

Untuk mencapai Museum BI dengan kendaraan pribadi ambil arah ke kawasan Kota Tua. Namun direkomendasikan menggunakan transportasi umum, Trans Jakarta atau Kereta Komuter karena pemberhentian terakhirnya tepat di depan museum, sehingga kita tinggal jalan sedikit. Selain murah dan nyaman, kita bisa bersumbangsih dalam mengurangi beban jalan sembari menjaga kualitas udara di Ibukota.  (ONE)

 

 

Berita Terkait

Komentar: