Jika Tidak Disiplin, Kapal Dapat Menjadi Sumber B3

Setelah membaca artikel sebelumnya, kita sudah mulai mengenal tranportasi barang dan/atau bahan berbahaya (B3). Namun cakupan transportasi ini tidak hanya angkutan darat dan udara seperti yang telah dibahas. Tapi, angkutan laut pun melayani transportasi B3.

Pada tahun 2007 lalu, Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan menerapkan Surat Izin Berlayar (SIB) model baru yang memungkinkan Syahbandar untuk memeriksa lebih ketat lagi barang berbahaya yang akan dimasukkan ke dalam kapal.

SIB yang efektif berlaku 1 April 2007 itu disebut model baru karena SIB yang lama tidak secara eksplisit menyebut barang berbahaya. Barang berbahaya di SIB mengacu pada UU No 21 tahun 1992 tentang Pelayaran yang dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51/2002 tentang Perkapalan. Juga beberapa ketentuan internasional yang sudah diratifikasi.

Pada SIB tersebut selain terdapat kolom khusus barang berbahaya yang akan diangkut ke kapal, juga memuat form standar bernama sailing declaration yang berisi pernyataan nakhoda bahwa kapalnya laik melaut sebelum minta izin untuk berlayar.

Aturan baru ini mewajibkan pemilik  barang untuk melaporkan muatan barang berbahayanya. Laporan pertama-tama ditujukan kepada pemilik kapal, kemudian ke Syahbandar. Tujuan pelaporan, supaya barang-barang itu ditempatkan pada posisi yang benar. Sebab, tiap barang berbahaya perlu penanganan berbeda-beda. Misalnya, barang yang mudah meledak tidak ditaruh di tempat yang panas. 

Hal ini tidak bisa dipandang remeh. Jika tidak diperhatikan, kehidupan kita dan juga habitat laut akan terancam jika terjadi apa-apa dengan barang bawaan yang berbahaya tersebut. Sebagai contoh, ada  kasus di Karimun, Kepulauan Riau, di mana sebuah kapal yang membawa empat ratus ton limbah berbahaya jenis minyak hitam (slup), berhasil diamankan jajaran Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) Tanjungbalai Karimun, di Perairan Pulau Mudu, Kabupaten Karimun.

Limbah minyak hitam itu, selain diangkut tanpa memiliki surat izin berlayar, nakhoda kapal MT Rimba GT 316 berbendera Korea itu, Syahwan, juga tidak bisa memperlihatkan dokumen muatan seperti manifest, surat izin olah gerak dari Kantor Administrasi Pelabuhan (Adpel) setempat. Bahkan surat izin mengangkut barang berbahaya dan surat persetujuan keagenan kapal asing (PKKA) pun tidak ada. 

Jika tidak tertangkap, dan kapal MT Rimba GT 316 ternyata bernasib naas sehingga tenggelam, apa jadinya dengan ekosistem laut kita? Padahal, sebagaimana kita tahu, daerah Tanjungbalai menjadi andalan bagi komoditas ikan berskala nasional.

Dasar Hukum

Belajar dari pengalaman demi pengalaman, kini aturan pengangkutan B3 terus ditingkatkan. Hal itu ditunjukkan, dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang mengatur kembali hal tersebut, khususnya pada Pasal 44 sampai dengan Pasal 49. Menurut Undang-Undang tersebut istilah yang digunakan adalah barang khusus seperti kayu gelondongan (logs), barang curah, rel dan ternak sedangkan barang berbahaya seperti bahan cair, bahan padat dan bahan gas.

Bahkan belum lama ini, Pemerintah meratifikasi penanganan barang beracun dan berbahaya (B3) dari Konvensi International Tahun 1973 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal. Ratifikasi yang ditandatangani pada 20 Maret 2012 itu, tertuang dalam Peraturan Presiden No 29 Tahun 2012  tentang Ratifikasi Lampiran III, Lampiran IV, Lampiran V, dan Lampiran VI, sebagaimana diubah dengan Protokol Tahun 1978.

Dengan meratifikasi konvensi internasional tersebut, menurut Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan, Arifin Soenardjo, maka pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengawasi dan mengatur muatan berbahaya dan beracun dari kapal. “Konvensi ini mengatur bagaimana setiap negara melakukan pengawasan atas muatan beracun dan berbahaya yang diangkut kapal.”

 Berdasarkan aturan di atas, lanjutnya, barang berbahaya diklasifikasikan menjadi 9 kelas, di antaranya bahan/barang peledak (explosives); gas-gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compress gases, liquified or dissolved under pressure); cairan mudah menyala/terbakar (flammable lequids); bahan/barang padat mudah menyala/terbakar (flammable solids); dan bahan/barang pengoksidasi (oxidizing substances).

Semuanya harus memenuhi persyaratan pengemasan, penumpukan dan penyimpanan di pelabuhan, penanganan bongkar muat serta penumpukan dan penyimpanan selama berada di kapal. Juga harus memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan peraturan dan standar, baik nasional maupun internasional, bagi kapal khusus pengangkut barang berbahaya. Dan tentu harus diberi tanda-tanda khusus sesuai dengan barang berbahaya yang diangkut.

Pemilik, operator dan/atau agen perusahaan angkutan laut yang mengangkut B3, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Syahbandar sebelum kapal pengangkut B3 tiba di pelabuhan. Badan usaha pelabuhan dan unit penyelenggara pelabuhan wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan B3 untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di pelabuhan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan B3 di pelabuhan.

Yang menarik, UU tidak hanya menyoroti apa yang dibawa oleh kapal termasuk B3 atau tidak. Tapi, pada kenyataannya kapal itu sendiri merupakan salah satu sumber B3. Karena aktifitas kapal beserta orang di atasnya bisa menyebabkan pencemaran lingkungan dari limbah seperti minyak, kotoran/sampah, dan bahan lain yang tidak ramah untuk alam.

Oleh karenanya, setiap pemilik kapal, operator kapal, nakhoda atau pimpinan kapal, anak buah kapal dan pelayar lainnya wajib mencegah timbulnya pencemaran lingkungan itu. Seharusnya, limbah atau bahan lain dari kapal ditampung dalam kapal dan kemudian dipindahkan ke fasilitas penampungan limbah yang tersedia di pelabuhan.

Dalam hal ini ada pengecualian, jika kapal dalam keadaan terpaksa membuang muatan dan/atau limbah kapal demi keselamatan jiwa manusia atau keselamatan kapal itu sendiri atau kapal mengalami tubrukan, kandas atau karena hal lain sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran. Tentu disertai bukti dengan laporan resmi yang juga mencantumkan bahwa sebelumnya telah dilakukan upaya-upaya pencegahan.

Di samping itu, kapal juga dilarang mengeluarkan emisi gas buang yang melebihi batas yang ditetapkan. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria pembuangan, cara pembuangan, lokasi pembuangan, sarana penampungan di kapal dan fasilitas penampungan limbah di pelabuhan serta ambang batas emisi gas buang diatur dengan keputusan Menteri Perhubungan.

Lebih lanjut, setiap kapal wajib memiliki bangunan, peralatan, perlengkapan dan sistem yang memenuhi untuk pencegahan pencemaran perairan dari ruang mesin, ruang muat dan ruang lainnya. Kapal yang telah dilengkapi dengan peralatan pencegahan pencemaran yang memenuhi persyaratan dan telah diperiksa, diberikan sertifikat pencegahan pencemaran perairan yang berlaku selama 5 tahun.

Sertifikat pencegahan pencemaran perairan yang dikeluarkan sesuai konvensi internasional. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan sertifikat diatur lebih lanjut oleh Menteri Perhubungan, sedangkan  pemeriksaan kelengkapan dan pengujian peralatan pencegahan pencemaran dilakukan oleh pejabat pemeriksa keselamatan kapal yang ditunjuk oleh Menteri Perhubungan.

Selain itu, tiap kapal wajib memiliki buku catatan untuk mencatat kegiatan operasional penanganan limbah serta bahan lain yang merugikan. Tata cara penanggulangan keadaan darurat pencemaran perairan dan daftar tugas pelaksanaan penanggulangan pencemaran perairan yang akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Perhubungan. Kapal yang digunakan khusus untuk pembakar atau pemusnah limbah dan bahan lain yang merugikan harus memenuhi persyaratan teknis. Kapal dengan ukuran dan jenis tertentu wajib dilengkapi dengan peralatan dan bahan penanggulangan pencemaran perairan yang wajib dipelihara dan dirawat.    

Pemerintah selaku regulator tidak hanya membuat atau meratifikasi peraturan, tetapi juga melengkapi sarana atau prasarana pelabuhan  untuk mencegah masuknya B3. Terkait dengan hal ini, menurut Dirjen Perhubungan Laut Leon Muhammad saat ini sebanyak 283 pelabuhan di Indonesia sudah sesuai dengan Internastional Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang dikeluarkan oleh IMO (International Maritime Organization). “Saat ini alat keamanan yang kita punya sudah mencapai 60 persen dari seluruh pelabuhan di Indonesia. Alat tersebut berupa radio komunikasi, CCTV, generator, komputer, tiang lampu dan vihicle inspection mirror.”

Kabar baik ini, lanjutnya, menjadi angin segar tatkala Pemerintah berhasil mengungkap kasus ratusan kontainer yang berisi B3 yang diimpor dari Inggris dan Belanda. Pengamat hukum lingkungan, Mas Ahmad Santosa, menilai seharusnya kontainer tersebut dikembalikan ke negara asal. Alasannya, kita telah meratifikasi Konvensi Basel dan dituangkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Letak Tanggungjawab

Bagaimana jika ada pencemaran perairan? Jika bersumber dari kapal, maka pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap penanggulangan pencemaran dan kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran yang bersumber dari kapalnya.

Jika pencemaran terjadi karena tidak disengaja, misalnya karena cuaca sehingga kapal karam, maka pemilik kapal atau operator wajib mengasuransikan tanggung jawabnya. Besaran tanggung jawab pemilik kapal atau operator dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal lain yang juga penting kita perhatikan bersama adalah masyarakat menjadi pihak yang turut memikul tanggung jawab, khususnya para penumpang atau kru kapal. Perilaku masyarakat yang kerap membuang sampah di sungai, “dilanjutkan” saat naik ke kapal. Inilah yang membuat kapal sebagai sumber B3 karena perilaku masyarakat yang menjadi penumpang.

Atas kesadaran itulah Pemerintah Kota Bitung merencanakan membuat Peraturan Daerah tentang larangan membuang sampah di laut. Walikota Bitung Hanny Sondakh mengatakan peraturan tersebut dilakukan untuk mendorong semua warga untuk tidak membuang sampah di laut. “Penyelamatan biota laut perlu ada intervensi khusus pemerintah, apalagi Bitung merupakan daerah pelabuhan yang rawan akan sampah yang diproduksi dari kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan maupun dari masyarakat pesisir pantai.”

Artinya, terjaminnya kelestarian lingkungan laut dari ancaman B3 tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat yang telah menetapkan aturan serta pengawasan. Harapannya aturan tersebut semakin ditajamkan oleh kepala daerah-kepala daerah dan dilaksanakan oleh semua pihak. Termasuk, dalam hal ini masyarakat secara luas. Hentikan buang sampah di laut mulai sekarang! (ONE)

Berita Terkait

Komentar: