Tantangan Baru Sekolah Internasional

Tahun ini akan menjadi periode yang penuh tantangan bagi sekolah-sekolah internasional di Indonesia. Kini, mereka tidak lagi bisa menggunakan kata 'internasional' sebagai bagian dari nama sekolah mereka. Manajemen sekolah pun tidak bisa mempekerjakan guru asing lebih dari 70 persen dari jumlah pengajar. Selain itu, mereka harus memberikan pelajaran bahasa dan budaya Indonesia kepada para siswa.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memberikan tenggat pada 1 Desember 2014 kepada semua sekolah internasional untuk mematuhi ketentuan tersebut. Hal itu berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 31 tahun 2014 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan oleh Lembaga Pendidikan Asing dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia.
Dampak dari peraturan tersebut, sekolah internasional diberi keleluasaan untuk mengubah bentuk menjadi sekolah diplomatik, sekolah nasional, atau satuan pendidikan kerja sama. Opsi terakhir inilah yang sebagian besar dipilih oleh sekolah.
Masyarakat menduga bahwa keputusan ini adalah respon seketika dari Kementerian terkait dugaan kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Tak banyak yang tahu bahwa embrio Permendikbud nomor 31/2014 telah diformulasikan sejak empat tahun silam.
Sejatinya, penyusunan beleid tersebut menjadi mandat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. PP itu menyatakan bahwa lembaga pendidikan asing yang berikhtiar menyelenggarakan layanan pendidikan harus bekerja sama dengan lembaga pendidikan di Indonesia.
Regulasi baru yang mengatur tentang sekolah internasional ini dirancang untuk melindungi para siswa dan orang tua. Sebab, banyak sekolah yang menggunakan nama 'internasional' namun tidak memberikan layanan berstandar internasional. Mereka menggunakan nama 'internasional', hanya sebagai strategi untuk mematok biaya sekolah setinggi mungkin.
Ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah, mereka kecewa karena ternyata sekolah tidak menggunakan kurikulum internasional, tidak memiliki penutur asing, ataupun siswa asing. Oleh karena temuan ini, Kementerian mengharuskan sekolah internasional untuk menghilangkan kata 'internasional' dari nama mereka.
Sebagai contoh, saat ini Jakarta International School berubah menjadi Jakarta Intercultural School, British International School menjadi British School, Gandhi Memorial International School bersalin ke Gandhi Memorial Indonesia School, dan lain-lain.
Apakah ini hanya sengkarut perubahan nama? Tidak, Keputusan ini mengandung beberapa poin penting. Sebuah SPK tidak diperbolehkan menolak siswa Indonesia yang ingin mendaftar ke sekolah tersebut melalui proses uji layak. Sekolah harus memberikan pelajaran wajib, yakni agama, bahasa Indonesia, dan kewarganegaraan. Semua siswa Indonesia di SPK pun diwajibkan mengikuti Ujian Nasional.
Untuk menjamin kualitas sekolah, pemerintah mengharuskan mereka memiliki rencana induk pengembangan sekolah yang terdiri dari visi dan misi, kurikulum, standar kompetensi siswa, proses pembelajaran, data siswa, guru, fasilitas, metode penilaian, akreditasi dan pembiayaan.
Sebelum mengantongi izin, sekolah pun diharuskan menyerahkan surat referensi dari bank tentang jumlah simpanan mereka, atau pernyataan nilai aset sekolah. Hal ini untuk memastikan bahwa sekolah memiliki modal kuat untuk menyelenggarakan pendidikan. Sehingga, proses pembelajaran tidak terhenti di tengah jalan, yang berpotensi merugikan siswa dan orang tua.
Pasal 4 dari Permendikbud nomor 31/2014 bahkan menegaskan sekolah kerjasama harus menyediakan fasilitas belajar berteknologi tinggi, perpustakaan digital, ruang multimedia, dan klinik atau fasilitas kesehatan.
Guru Asing
Poin menarik yang perlu dicermati dari Peraturan tentang SPK adalah ketentuan tentang rekrutmen guru dan tenaga kependidikan. Jumlah guru Indonesia di SPK minimal 30 persen dan harus memegang gelar sarjana yang relevan dengan mata pelajaran yang diampu. Sementara untuk tenaga kependidikan, kuota minimum untuk warga negara Indonesia adalah 80 persen.
Sedangkan kepala sekolah minimal bergelar strata 2. Pemerintah pun melarang ekspatriat untuk memegang jabatan yang terkait dengan kepegawaian di sekolah. Dengan aturan ini, sekolah-sekolah yang tidak memenuhi persentase tersebut, harus memulangkan guru asing mereka, atau menambah jumlah guru Indonesia untuk membuat komposisi ideal.
SPK juga akan kian sulit mendatangkan guru asing untuk mengajar di sekolah mereka. Sebab Kementerian Tenaga Kerja sedang menggodok aturan yang mewajibkan tenaga kerja asing mampu berbahasa Indonesia, bahkan sebelum ekspatriat tersebut masuk ke Indonesia (Kompas, 14 Februari 2015). Kendati peraturan ini perlu dicermati, apakah infrastruktur pengujian bahasa Indonesia kita sudah tersedia di luar negeri?
Meski dihadapkan pada berbagai persyaratan yang rigid, sebanyak 123 sekolah akhirnya berhasil mengantongi izin penyelenggaraan SPK dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Izin tersebut diberikan kepada sekolah-sekolah yang sebelumnya menggunakan nama internasional. Sedangkan sekolah lain memilih untuk "menyerah" dan berubah menjadi sekolah nasional karena tidak dapat memenuhi persyaratan.
Perubahan bentuk sekolah internasional ini memberikan harapan baru bagi siswa serta orang tua yang menuntut layanan berkualitas internasional di sekolah. Namun, di sisi lain juga menjadi tantangan bagi sekolah untuk beradaptasi dengan berbagai ketentuan baru.
Yohan Rubiyantoro
Anggota Tim Verifikasi Sekolah Internasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Non-formal dan Informal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pandangan yang disampaikan bersifat pribadi.