Masjid Lautze: Tionghoa jadi Muslim, Siapa Takut!

Bagi sebagian orang, mungkin akan merasa heran jika melihat papan nama bertuliskan Yayasan Karim Oei menyelit di deretan toko daerah Pecinan di wilayah Pasar Baru, Jakarta. Apalagi di dalamnya ternyata ada sebuah masjid, yang dinamai Masjid Lautze, sama seperti nama jalan tempat yayasan itu berada di Jalan Lautze No. 87-88, Jakarta Pusat.
Masjid tersebut sangat khas. Tidak ada kubah maupun bedug sebagaimana lazimnya sebuah masjid. Warnanyapun lebih mirip warna bangunan Klenteng dengan dominasi warna merah darah menyapu pintu. Interior di dalamnya pun percampuran merah dan kuning. Namun, ada 3 buah kaligrafi yang asli berasal dari China.
"Pernah suatu saat ada enci-enci dengan membawa hio masuk ke dalam hendak berdoa. Pikirnya ini Klenteng," kata, Yusman Iriansyah, Humas Yayasan Haji Karim Oei, kepada MAP.
Menurut Yusman, Masjid Lautze yang berarti "guru" atau "orang yang dihormati" sengaja dibuat mirip Klenteng dan tidak dilengkapi dengan kubah atau bedug. "Sengaja supaya tidak ingin menunjukkan masjid. Supaya yang datang tidak sungkan. Dengan demikian, orang-orang Tionghoa merasa biasa dan familiar masuk ke sini," ucapnya.
Selain itu, pihaknya juga mengizinkan orang non-muslim masuk ke masjid yang terletak di lantai satu dan dua Yayasan Haji Karim Oei. Bahkan, masjid ini dilengkapi balkon di lantai supaya umat non-muslim bisa melihat bagaimana orang Islam shalat. "Kalau mereka gak boleh masuk kapan mau jadi Islam?" tutur Yusman.
Yayasan Lautze yang saat ini diketuai Junus Jahja ini sengaja didirikan untuk melanjutkan semangat Karim Oei (1988). Ia dikenal sebagai pionir umat Islam yang berasal dari kalangan Tionghoa. Sepanjang hidupnya, selain menjadi pengusaha nasional yang sukses juga seorang pejuang, ia menjabat Ketua Muhamadiyah di Bangkulu, aktif di Partai Masyumi dan menjadi Bendahara MUI.
"Misi yayasan ini adalah ingin memecahkan persolan pembauran antara 'pribumi' dan 'non pribumi'. Maka kami dirikan yayasan di sini," ucap Yusman.
Masalah pembauran tersebut dinilainya belum tuntas di Indonesia. Karena masyarakat Tionghoa masih belum bisa menerima kehadiran Islam sebagai agama dengan pengikut mayoritas. Lalu ia mengambil contoh Filipina dan Thailand. Orang Cina yang masuk ke Filipina tidak masalah karena mereka membaur dengan agama Katolik, sebagai mayoritas. Begitu pula yang masuk ke Thailand, karena mereka menerima agama Budha.
"Menerima tidak harus menjadi pengikut agamanya. Bukan soal harus masuk Islam, paling tidak yang kami harapkan bisa menerima agama Islam, sebagaimana masyarakat Tionghoa menerima agama lain di luar Islam. Kalau masuk Islam kan tergantung Allah," tutur Yusman.
Dakwah di daerah Pecinan, menurut Yusman, sangat potensial. Saat yayasan kali pertama dibuka banyak yang antusius. Ada yang langsung menyatakan diri Islam, bertanya-tanya soal Islam, dan menyatakan minatnya pada Islam. Maka tidak mengherankan sejak berdiri pada tahun 1991, diperkirakan jemaah Masjid Lautze lebih dari seribu orang, 99 persennya merupakan mualaf keturunan Tionghoa.
"Saat ini dalam seminggu ada 2-3 orang yang masuk Islam," ia menerangkan. Yang menarik, yayasan dan Masjid Lautze bukanya mengikuti jam kantor. Dengan demikian shalat hanya saat dzuhur dan ashar saja. Jemaatnya pun kebanyakan berasal dari karyawan di sekitar jalan Lautze.
"Kalau jemaah yang Tionghoa yang berasal dari Jabotebak kumpulnya pada hari Minggu. Diisi dengan silahturahmi, ada masjid taklim, belajar dasar agama Islam dan sharing di antara mereka," papar Yusman.
Sedangkan selama bulan Ramadhan, lanjutnya, kegiatan ditambah dengan buka puasa bersama dan tarawih. Di luar hari minggu, para jemaah biasanya diundang berbuka puasa di rumah-rumah pejabat. "Ini sudah menjadi tradisi," katanya singkat.
Ke depan, Yusman mengungkapkan, yayasan Haji Karim Oei ini akan terus melanjutkan pemecahan masalah pembauran di Indonesia. Karena Islam sendiri, sebagaimana tercantum dalam Surat Al Hujuraat ayat 13, menghargai toleransi dan pembauran. "Intinya, Allah sengaja menciptakan bermacam-macam suku, bangsa, dan agama supaya saling mengenal. Di mata Allah tidak ada yang lebih mulia, yang penting takwa pada-Nya," tuturnya.
Itulah sebabnya, yayasan yang memiliki 4 lantai ini membuka beberapa cabang. Saat ini cabangnya sudah ada di Bandung, Cirebon, Yogyakarta, Gading Serpong Tangerang, dan Surabaya. "Umumnya mereka yang meminta dibukakan cabang di daerahnya. Soalnya kalau langsung ke masjid masih malu dan sungkan," demikian Yusman Iriansyah. (ONE)